HUKUM ISTIHZA' BID DIN (MEMPEROLOK AGAMA)
Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsary
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam kitabNya:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم
بَمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِءُوا إِنَّ اللهَ مُخْرِجُ
مَاتَحْذَرُونَ
Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu
surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka.
Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah
dan RasulNya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.
[At Taubah:64].
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ
أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan
itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya
bersenda-gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?". [At Taubah:65].
لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن
طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami
mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami
akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang
yang selalu berbuat dosa. [At Taubah:66].
Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang munafik terhadap Allah, RasulNya
dan kaum mukminin. Kebencian yang selama ini mereka pendam, terlahir
dalam bentuk ejekan dan olok-olokan terhadap Allah dan RasulNya.
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir mencantumkan sebuah riwayat dari
Muhammad bin Ka'ab Al Qurazhi dan lainnya yang menjelaskan kepada kita
bentuk pelecehan dan olokan mereka terhadap Allah, RasulNya dan
ayat-ayatNya.
Ia berkata: Seorang lelaki munafik mengatakan: "Menurutku, para qari
(pembaca) kita ini hanyalah orang-orang yang paling rakus makannya,
paling dusta perkataannya dan paling penakut di medan perang."
Sampailah berita tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, lalu orang munafik itu menemui Beliau, sedangkan Beliau sudah
berada di atas ontanya bersiap-siap hendak berangkat. Ia berkata:
"Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan
bermain-main saja." Maka turunlah firman Allah.
أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu
berolok-olok?" sesungguhnya kedua kakinya tersandung-sandung batu,
sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menoleh
kepadanya, dan ia bergantung di tali pelana Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.[1]
Ayat ini menjelaskan hukum memperolok-olok Allah, RasulNya,
ayat-ayatNya, agamaNya dan syiar-syiar agama, yaitu hukumnya kafir.
Barangsiapa memperolok-olok RasulNya, berarti ia telah memperolok-olok
Allah. Barangsiapa memperolok-olok ayat-ayatNya, berarti ia telah
memperolok-olok RasulNya. Barangsiapa memperolok-olok salah satu
daripadanya, berarti ia memperolok-olok seluruhnya. Perbuatan yang
dilakukan oleh kaum munafikin itu adalah memperolok-olok Rasul dan
sahabat Beliau, lalu turunlah ayat ini sebagai jawabannya.
Sikap memperolok-olok syi’ar agama bertentangan dengan keimanan. Dua
sikap ini, dalam diri seseorang, tidak akan bisa bertemu. Oleh karena
itu, Allah menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syiar-syiar agama
berasal dari ketaqwaan hati. Allah berfirman.
ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [Al Hajj:32].
MAKNA ISTIHZA'
Istihza', secara bahasa artinya sukhriyah, yaitu melecehkan [2]. Ar
Raghib Al Ashfahani berkata,”Al huzu', adalah senda-gurau tersembunyi.
Kadang-kala disebut juga senda-gurau atau kelakar." [3]
Al Baidhawi berkata,”Al Istihza', artinya adalah pelecehan dan
penghinaan. Dapat dikatakan haza'tu atau istahza'tu. Kedua kata itu sama
artinya. Seperti kata ajabtu dan istajabtu.” [4]
Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui makna istihzaa'. Yaitu
pelecehan dan penghinaan dalam bentuk olok-olokan dan kelakar.
ISTIHZA', DAHULU DAN SEKARANG
Perbuatan mengolok-olok agama dan syi’ar-syi’ar agama ini, bukan hanya
muncul pada masa sekarang; namun akarnya sudah ada sejak dahulu. Banyak
sekali bentuk-bentuk istihzaa' yang dilakukan oleh orang-orang dahulu
maupun sekarang. Diantaranya:
- Dalam bentuk pelesetan-pelesetan yang menghina agama.
Bisa dikatakan, Yahudilah yang menjadi pelopor dalam membuat
pelesetan-pelesetan yang isinya menghina Allah, RasulNya dan Islam.
Sikap mereka ini telah disebutkan oleh Allah dalam firmanNya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad):
"Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi
orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. [Al Baqarah:104].
Raa'ina, artinya sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Dikala para
sahabat menggunakan kata-kata ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, orang-orang Yahudipun memakainya pula, akan tetapi mereka
pelesetkan. Mereka katakan ru'unah, artinya ketololan yang amat sangat.
Ini sebagai ejekan terhadap Rasulullah. Oleh karena itulah, Allah
menyuruh para sahabat agar menukar perkataan raa'ina dengan unzhurna,
yang juga sama artinya dengan raa'ina.
Yahudi juga memelesetkan ucapan salam menjadi as saamu 'alaikum, yang
artinya (semoga kematianlah atas kamu). Mereka tujukan ucapan itu kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebelumnya, hal sama sebenarnya telah mereka lakukan terhadap Nabi Musa Alaihissallam. Allah menceritakannya dalam KitabNya.
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوامِنْهَا حَيْثُ
شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ
نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ . فَبَدَّلَ
الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنزَلْنَا
عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا كَانُوا
يَفْسُقُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini
(Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak
dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya dengan bersujud,
dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari dosa", niscaya Kami ampuni
kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami)
kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-orang yang mengganti
perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.
Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu siksaan dari
langit, karena mereka berbuat fasik. [Al Baqarah:58, 59].
Mereka disuruh mengucapkan hiththah, yang artinya bebaskanlah kami dari
dosa. Namun mereka pelesetkan menjadi hinthah, yang artinya beri kami
gandum.
Memang, urusan peleset-memelesetan ini orang Yahudi merupakan biangnya.
Celakanya, sikap seperti inilah yang ditiru oleh sebagian orang jahil.
Mereka menjadikan agama sebagai bahan pelesetan. Seperti yang dilakukan
oleh para pelawak yang memelesetkan ayat-ayat Allah dan syi’ar-syi’ar
agama.
Sebagai contoh, memelesetkan firman Allah yang berbunyi "laa taqrabuu
zina" kemudian diartikan “jangan berzina hari Rabu!” Bahkan sebagian
oknum itu, ada yang berani memelesetkan arti firman Allah: Inna lillahi
wa inna ilahi raji'un, dengan arti “yang tidak berkepentingan dilarang
masuk!” dalam bentuk guyonan dan lawakan. Kepada orang seperti ini, kita
ucapakan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Demikian pula, kita sering mendengar dari sebagian orang yang
memelesetkan lafadz azan. Sebagai contoh ucapan "hayya 'alal falaah",
mereka pelesetkan menjadi "hayalan saja". Dan masih banyak lagi
bentuk-bentuk pelesetan, yang hakikatnya adalah pelecehan dan istihzaa'
terhadap syi’ar-syi’ar agama. Hendaklah orang-orang yang melakukannya
segera bertaubat dengan taubatan nasuha. Dan bagi para orang tua,
hendaklah mencegah dan melarang anak-anaknya, apabila mendengar
anak-anak mereka melatahi pelesetan-pelesetan bernada pelecehan
tersebut. Hendaklah mereka ketahui, bahwa perbuatan seperti itu
merupakan perbuatan Yahudi.
- Dalam bentuk ejekan dan sindiran terhadap syi’ar-syi’ar agama dan orang-orang yang mengamalkannya.
Seringkali kita mendengar sebagian orang tak bermoral mengejek
wanita-wanita Muslimah yang mengenakan busana Islami dengan bercadar dan
warna hitam-hitam dengan ejekan “ninja! ninja! Atau seorang Muslim yang
taat memelihara jenggotnya dengan ejekan “kambing!” Atau seorang Muslim
yang berpakaian menurut Sunnah tanpa isbal (tanpa menjulurkannya
melebihi mata kaki) dengan ejekan: “pakaian kebanjiran”. Sering kita
dapati di kantor-kantor, para pegawai yang taat menjalankan syi’ar agama
ini diejek oleh rekan kerjanya yang jahil alias tolol. Sekarang ini
kaum muslimin yang taat menjaga identitas keislamannya, seringkali dicap
dan diejek dengan sebutan teroris dan lain sebagainya. Yang sangat
memprihatinkan adalah para pelaku pelecehan dan pengejekan itu adalah
dari kalangan kaum muslimin sendiri.
- Dalam bentuk sindiran terhadap Islam dan hukum-hukumnya.
Seperti orang yang mengejek hukum hudud dalam Islam, semisal potong
tangan dan rajam dengan sebutan hukum barbar. Menyebut Islam sebagai
agama kolot dan terkebelakang. Menyebut syariat thalak dan ta'addud
zaujaat (poligami) sebagai kezhaliman terhadap kaum wanita. Atau ucapan
bahwa Islam tidak cocok diterapkan pada zaman modern. Dan ucapan-ucapan
sejenisnya.
- Dalam bentuk perbuatan dan bahasa tubuh atau gambar.
Seperti isyarat, istihzaa' dalam bentuk karikatur dan sejenisnya.
JENIS-JENIS ISTIHZA'
Istihza' ada dua jenis. Pertama. Istihzaa' sharih. Seperti yang
disebutkan dalam ayat di atas. Yaitu perkataan orang-orang munafik
terhadap sahabat-sahabat Nabi. Kedua. Istihza' ghairu sharih. Jenis ini
sangat luas dan banyak sekali cabangnya. Diantaranya adalah ejekan dan
sindiran dalam bentuk isyarat tubuh. Misalnya, seperti menjulurkan
lidah, mencibirkan bibir, menggerakkan tangan atau anggota tubuh
lainnya.
HUKUM ISTIHZA'
Istihzaa' termasuk salah satu dari pembatal-pembatal keislaman. Dalam
ta'liq (syarah) terhadap kitab Aqidah Ath Thahawiyah, Syaikh Shalih Al
Fauzan mengatakan: "Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak.
Diantaranya adalah juhud (pengingkaran), syirik dan memperolok-olok
agama atau sebagian dari syi’ar agama –meskpin ia tidak mengingkarinya-.
Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Para ulama dan ahli fiqh
telah menyebutkannya dalam bab-bab riddah (kemurtadan). Diantaranya juga
adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal."
Ketika mengomentari surat At Taubah ayat 64-66 di atas, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan: "Ayat ini merupakan nash bahwasanya
memperolok-olok Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya hukumnya kafir." [5]
Al Fakhrur Razi dalam tafsirnya mengatakan: "Sesungguhnya,
memperolok-olok agama, bagaimanapun bentuknya, hukumnya kafir. Karena
olok-olokan itu menunjukkan penghinaan; sementara keimanan dibangun atas
pondasi pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar pengagungan.
Dan mustahil keduanya bisa berkumpul." [6]
Ibnul Arabi menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut: "Apa yang
dikatakan oleh orang-orang munafik tersebut tidak terlepas dari dua
kemungkinan, sungguh-sungguh atau cuma berkelakar saja. Dan apapun
kemungkinannya, konsekuensi hukumnya hanya satu, yaitu kufur. Karena
berkelakar dengan kata-kata kufur adalah kekufuran. Tidak ada
perselisihan diantara umat dalam masalah ini. Karena kesungguhan itu
identik dengan ilmu dan kebenaran. Sedangkan senda gurau itu identik
dengan kejahilan dan kebatilan." [7]
Ibnul Jauzi berkata: "Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau
bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah
sama." [8]
Al Alusi menambahkan perkataan Ibnul Jauzi di atas sebagai berikut:
"Tidak ada perselisihan diantara para ulama dalam masalah ini."
Syaikh Abdurrahman As Sa'di menjelaskan dalam tafsirnya: "Sesungguhnya,
memperolok-olok Allah dan RasulNya hukumnya kafir, dan dapat
mengeluarkan pelakunya dari agama. Karena dasar agama ini dibangun di
atas sikap ta'zhim (pengagungan) terhadap Allah dan pengagungan terhadap
agama dan rasul-rasulNya. Dan memperolok-olok sesuatu daripadanya,
(berarti) menafikan dasar tersebut dan sangat bertentangan dengannya."
[10]
Ditambahkan lagi, istihza' pada hakikatnya bertentangan dengan keimanan.
Karena hakikat keimanan adalah pembenaran terhadap Allah k dan tunduk
serta patuh kepadaNya. Orang yang memperolok-olok Allah, sesungguhnya ia
menolak tunduk kepadaNya, karena ketundukan itu merupakan komposisi
dari pengangungan dan memuliakan. Sementara itu olok-olokan adalah
penghinaan dan pelecehan. Kedua perkara tersebut sangat berlawanan dan
saling bertolak belakang. Apabila salah satu ada dalam hati seseorang,
maka yang lain akan hilang. Dapatlah diketahui, bahwa istihza',
penghinaan dan pelecehan terhadap Allah, RasulNya dan ayat-ayatNya
menafikan keimanan.
Ibnu Hazm mengatakan: "Nash yang shahih telah menyatakan, bahwa siapa
saja yang memperolok-olok Allah setelah sampai kepadanya hujjah, maka ia
telah kafir." [11]
Al Qadhi Iyadh berkata: "Barangsiapa mengucapkan perkataan keji dan
kata-kata yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah dan
kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang
diagungkan oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang
sebenarnya hanya layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan
melecehkan, atau tanpa sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal
itu berulang kali dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu
sehingga menunjukkan sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya
terhadap kehormatan Allah dan kejahilannya terhadap keagungan dan
kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi, hukumnya adalah kafir."[12]
An Nawawi menyebutkan dalam kitab Raudhatuth Thalibin: "Seandainya ia
mengatakan -dalam keadaan ia minum khamar atau melakukan zina- dengan
menyebut nama Allah! Maksudnya adalah melecehkan asma Allah, maka
hukumnya kafir." [13]
Ibnu Qudamah mengatakan: "Barangsiapa mencaci Allah, maka hukumnya
kafir, sama halnya ia bercanda atau sungguh-sungguh. Demikian pula,
siapa saja yang memperolok-olok Allah atau ayat-ayatNya atau
rasul-rasulNya atau kitabNya. Allah berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ
أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ .
لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن
طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan
itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda
gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu
minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan
segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan
mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang
selalu berbuat dosa. [At Taubah:65-66].”
Ibnu Nujaim mengatakan: "Hukumnya kafir, apabila ia mensifatkan Allah
dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya atau memperolok-olok salah
satu dari asma Allah Subhanahu wa Ta'ala." [15]
Dari penjelasan para ulama di atas dapat disimpulkan, bahwa istihzaa'
bid din termasuk dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari
agama. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan
perkara ini sebagai salah satu pembatal keislaman.
SIKAP ISLAM TERHADAP PELAKU ISTIHZA'
Allah berfirman dalam kitab-Nya:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ
اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ
حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ
اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa
apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan
(oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka,
sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya
(kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang
kafir di dalam jahannam. [An Nisa':140].
Berkaitan dengan ayat ini, Syaikh Abdurrahman As Sa'di mengatakan dalam
tafsirnya [16]: "Yakni Allah telah menjelaskan kepada kamu –dari apa
yang telah Allah turunkan kepadamu- hukum syar'i berkaitan dengan
menghadiri majelis-majelis kufur dan maksiat. Allah mengatakan "bahwa
apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan"
yaitu dilecehkan, maka sesungguhnya kewajiban atas setiap mukallaf
(orang yang sudah baligh dan berakal sehat) apabila mendengar ayat-ayat
Allah adalah mengimaninya, mengagungkan dan memuliakannya. Itulah maksud
diturunkannya ayat-ayat Allah. Dialah Allah yang karenanya telah
menciptakan makhluk. Lawan dari iman adalah mengkufurinya, dan lawan
dari pengagungan adalah melecehkan dan merendahkannya. Termasuk di
dalamnya adalah perdebatan orang-orang kafir dan munafik untuk
membatalkan ayat-ayat Allah dan mendukung kekafiran mereka.
Demikian pula ahli bid'ah dengan berbagai jenisnya. Argumentasi mereka
untuk mendukung kebatilan mereka, termasuk bentuk pelecehan terhadap
ayat-ayat Allah; karena ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan kecuali
hak, dan tidak memiliki konsekuensi lain selain kebenaran. Dan juga
termasuk di dalamnya, (yaitu) larangan menghadiri majelis-majelis
maksiat dan kefasikan, (dikarenakan) dalam majelis tersebut perintah dan
larangan Allah dilecehkan, hukum-hukumNya dilanggar. Dan batasan
larangan ini adalah "sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain",
yaitu mereka tidak lagi mengingkari ayat-ayat Allah dan tidak
melecehkannya.
Firman Allah "Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian),
tentulah kamu serupa dengan mereka". Yakni jika kamu duduk bersama
mereka dalam kondisi seperti itu, maka kalian serupa dengan mereka,
karena kalian ridha dengan kekufuran dan pelecehan mereka. Orang yang
ridha dengan perbuatan maksiat, sama seperti orang yang melakukan
maksiat itu sendiri. Walhasil, barangsiapa menghadiri majelis maksiat,
yang disitu Allah didurhakai dalam majelis tersebut, maka wajib atas
setiap orang yang tahu untuk mengingkarinya apabila ia mampu, atau ia
meninggalkan majelis itu bila ia tidak mampu."
Anehnya sebagian orang justru tertawa terbahak-bahak di depan televisi
mendengar celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan
simbol-simbol agama dan syi’ar-syi’arNya, wal iyadzu billah!
PENUTUP
Tulisan ini merupakan peringatan dan nasihat kepada segenap kaum
muslimin dari perbuatan dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya
dari Islam. Berapa banyak kita dapati bentuk-bentuk penghinaan terhadap
syi’ar-syi’ar agama, pelesetan-pelesetan yang berisi sindiran terhadap
agama, karikatur-karikatur lelucon yang berisi ejekan dan lain
sebagainya. Khususnya banyak kita dapati anak-anak kaum muslimin
melatahi bentuk-bentuk istihza' ini. Anehnya, para orang tua diam saja
melihatnya tanpa memperingatkan atau memberi hukuman terhadap anak-anak
mereka. Sehingga istihzaa' ini menjadi hal yang biasa di kalangan kaum
muslimin, padahal termasuk dosa besar. Na'udzubillah min dzalika.
Bagi siapa saja yang diserahkan mengurusi urusan kaum muslimin,
hendaklah cepat tanggap mengambil tindakan terhadap setiap bentuk
pelecehan terhadap agama, apapun bentuknya. Karena hal itu termasuk
kejahatan yang harus dibasmi, dan pelakunya berhak dihukum dengan
hukuman yang berat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VIII/1425H/2004M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Silakan lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz II, hlm. 454, Cet Darul Alam Al Kutub Riyadh, cetakan kedua, tahun 1997-1418 H.
[2]. Silakan lihat Lisanul Arab (I/183) dan Al Mishbaahul Munir, hlm. 787.
[3]. Silakan lihat kitab Al Mufradaat, hlm. 790.
[4]. Silakan lihat Tafsir Al Baidhaawi (I/26).
[5]. Silakan lihat Ash Sharimul Maslul, hlm. 31 dan juga Majmu’ Fatawa (XV/48).
[6]. At Tafsir Al Kabir (XVI/124).
[7]. Ahkamul Qur’an (II/964), dan lihat juga Tafsir Al Qurthubi (VIII/197).
[8]. Zaadul Masiir (III/465).
[9]. Ruuhul Ma’aani (X/131).
[10]. Tafsir As Sa’di (III/259).
[11]. Al Fishal (III/299).
[12]. Asy Syifaa (II/1092).
[13]. Raudhatuth Thalibin (X/67) dan Mughnil Muhtaaj, karangan Asy Syarbini (IV/135).
[14]. Al Mughni (X/113), dan silakan lihat juga Kasyful Qanaa’ (VI/168) dan Al Inshaf (X/326).
[15]. Al Bahrur Raaiq (V/129), dan lihat juga Syarah Fiqh Al Akbar, tulisan Mulaa Ali Al Qaari, hlm. 227.
[16]. Taisir Karimir Rahman, hlm. 22